Pasal Pencemaran Nama Baik
Bersosialisasi di era digital baik melalui sosial media seperti facebook, instagram, twitter ataupun melalui aplikasi percakapan instan seperti whatsapp harus memperhatian etika dan norma.
Jika anda melakukan postingan yang merugikan orang lain, baik distatus anda ataupun melalui postingan anda, maka yang bersangkutan dapat melakukan pelaporan pencemaran nama baik yang bisa berujung pidana.
Hal yang paling lazim ditemui adalah penghinaan ataupun penistaan terhadap sebuah individu ataupun organisasi. Ada juga ditemukan kasus penghinaan kepada sebuah instansi ataupun perusahaan. Tentu saja jika pihak yang anda hina tersebut merasa keberatan, maka anda akan dilaporkan ke pihak berwajib dan anda akan dikenakan Pasal Pencemaran Nama Baik
Ketentuan pasal pasal KUHP yang mengatur pencemaran nama baik sebelum adanya media sosial diatur dalam beberapa pasal, yaitu :
1. Pasal 310 KUH Pidana, yang berbunyi : (1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud yang nyata akan tersiarnya tuduhan itu, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-“. (2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan pada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-.
2. Pasal 315 KUHP, yang berbunyi “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Tetapi kini, Setelah adanya internet maka diatur dalam ketentuan Undang-undang ITE, maka Pasal Pencemaran Nama Baik yaitu :
Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang berbunyi : “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”, Pasal 45 UU ITE, yang berbunyi : (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Bahwa pencemaran nama baik, yang secara langsung maupun melalui media sosial / internet adalah sama merupakan delik aduan, yaitu delik yang hanya dapat diproses oleh pihak kepolisian jika ada pengaduan dari korban. Tanpa adanya pengaduan, maka kepolisian tidak bisa melakukan penyidikan atas kasus tersebut.
Sedangkan untuk delik aduan sendiri berdasarkan ketentuan pasal 74 KUHP, hanya bisa diadukan kepada penyidik dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak peristiwa tersebut terjadi. Artinya setelah lewat jangka waktu 6 (enam) bulan, kasus pencemaran nama baik secara langsung maupun melalui media sosial / internet tidak lagi bisa dilakukan penyidikan. Oleh karenanya bagi anda yang merasa dicemarkan nama baiknya baik secara langsung maupun melalui media sosial internet harus mengadukannya dalam jangka waktu tersebut.
Selain itu suatu kalimat atau kata-kata yang bernada menghina atau mencemarkan nama baik, supaya bisa dijerat pidana harus memenuhi unsur dimuka umum, artinya jika dilakukan secara langsung harus dihadapan dua orang atau lebih, dan jika melalui media sosial harus dilakukan ditempat yang bisa dilhat banyaka orang semisal wall facebook, posting group, dan lain sebagainya.
Kalimat hinaan yang dikirim langsung ke inbox atau chat langsung tidak bisa masuk kategori penghinaan atau pencemaran nama baik, karena unsur diketahui umum tidak terpenuhi.
Keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Demikian salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara No. 50/PUU-VI/2008 atas judicial review pasal 27 ayat (3) UU ITE terhadap UUD 1945. Mahkamah Konstitusi menyimpulkan bahwa nama baik dan kehormatan seseorang patut dilindungi oleh hukum yang berlaku, sehingga Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak melanggar nilai-nilai demokrasi, hak azasi manusia, dan prinsip-prinsip negara hukum. Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah Konstitusional.
Bila dicermati isi Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE tampak sederhana bila dibandingkan dengan pasal-pasal penghinaan dalam KUHP yang lebih rinci. Oleh karena itu, penafsiran Pasal 27 ayat (3) UU ITE harus merujuk pada pasal-pasal penghinaan dalam KUHP. Misalnya, dalam UU ITE tidak terdapat pengertian tentang pencemaran nama baik. Dengan merujuk Pasal 310 ayat (1) KUHP, pencemaran nama baik diartikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum.
Hukum Pencemaran Nama Baik di Media Sosial
Seiring perkembangan zaman, kegiatan manusia semakin bervariasi. Hal tersebut adalah akibat dari perkembangan teknologi informasi. Dahulu, kegiatan manusia didominasi pada kegiatan yang menggunakan sarana fisik. Namun, pada era teknologi informasi kegiatan manusia kini didominasi oleh peralatan yang berbasis teknologi. Hal tersebut tentu memberikan dampak pada penegakkan hukum pidana, contohnya kejahatan dalam dunia maya seperti pencemaran nama baik kerap terjadi.[7]
Apa hukuman pencemaran nama baik di media sosial? Jerat pasal pencemaran nama baik di media sosial selain dalam KUHP juga dapat merujuk pada Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024yang mengatur setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik dipidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp400 juta.[8]
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau nama baik” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri orang lain sehingga merugikan orang tersebut, termasuk menista dan/atau memfitnah.[9]
Sedangkan larangan menyebarkan informasi yang bertujuan menimbulkan kebencian berdasarkan SARA diatur dalam Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU 1/2024, yaitu setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik dipidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Sebagai informasi, berdasarkan Lampiran SKB UU ITE jika muatan/konten berupa penghinaan seperti cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas maka dapat menggunakan kualifikasi delik penghinaan ringan Pasal 315 KUHP atau Pasal 436 UU 1/2023 dan bukan Pasal 27 ayat (3) UU ITE (hal. 10) yang sekarang diubah dengan Pasal 27A UU 1/2024.
Adapun, jika muatan/konten tersebut berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan, maka bukan termasuk delik pencemaran nama baik (hal. 11).
Patut digarisbawahi, jerat pasal UU ITE pencemaran nama baik di media sosial atau delik hukum pencemaran nama baik di media sosial yang diatur dalam Pasal 310 KUHP dan Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 adalah delik aduan, sehingga hanya korban yang bisa memproses ke polisi.[10]
Pasal Pencemaran Nama Baik
Pencemaran nama baik dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah defamation, slander, calumny dan vilification.[1] Pengertian pencemaran nama baik menurut Oemar Seno Adji, pencemaran nama baik adalah suatu tindakan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang (aanranding of goede naam). Salah satu bentuk pencemaran nama baik adalah pencemaran nama baik yang dilakukan secara tertulis dengan menuduhkan sesuatu hal.[2]
Di Indonesia, pencemaran nama baik di media sosial kena pasal berapa? Patut dicatat, pasal pencemaran nama baik diatur dalam KUHP yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 yang akan berlaku setelah 3 tahun sejak diundangkan[3] sebagai berikut.
Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023
1. Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan cara lisan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[4]
2. Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.
3. Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
1. Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[5]
2. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum, dipidana karena pencemaran tertulis, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta.[6]
3. Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.
Baca juga: Perbuatan yang Termasuk dalam Pasal Pencemaran Nama Baik
Pencemaran Nama Baik Terhadap Badan Hukum
Tapi bukan berarti kekosongan norma tersebut mengakibatkan pelaku penghinaan terhadap badan hukum tidak bisa dipidana, karena ada asas curia novit jus atau ius curia novit berarti hakim dianggap mengetahui semua hukum sehingga pengadilan tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara.[3]
Baca juga: Arti Asas Ius Curia Novit
Prinsip ini terkandung dalam Pasal 10 ayat (1) UU 48/2009 yakni pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Cara yang dilakukan hakim adalah dengan penemuan hukum, dalam wujud melakukan penafsiran bunyi undang-undang. Interpretasi (penafsiran) adalah salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah tersebut diterapkan kepada peristiwanya.
Dengan demikian, agar objek penghinaan dapat ditujukan ke badan hukum, kami berpendapat, hakim perlu menggunakan penafsiran ekstentif, yaitu memperluas makna[4] dari objek kehormatan yang tidak hanya pada diri seseorang tetapi juga pada badan hukum (rechts persoon).
Sepanjang penelusuran kami, terdapat yurisprudensi kasus pencemaran nama baik terhadap badan hukum yaitu dalam Putusan MA No. 183 K/Pid/2010. Dalam putusan tersebut disebutkan bahwa badan hukum bisa menjadi objek pencemaran nama baik (hal. 15).
Putusan MA ini juga menjelaskan bahwa untuk melaporkan adanya tindak pidana pencemaran nama baik yang ditujukan kepada badan hukum, yang wajib melaporkan tindak pidana tersebut adalah Direktur Utama yang dapat mewakili suatu PT (hal. 15-16).
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
[1] Adami Chazawi. Hukum Pidana Positif Penghinaan (Tindak Pidana Menyerang Kepentingan Hukum Mengenai Martabat Kehormatan dan Martabat Nama Baik Orang Bersifat Pribadi Maupun Komunal) Edisi Revisi. Malang: Media Nusa Creative, Malang, Cetakan ke-3, 2020, hal. 288
[2] Adami Chazawi. Hukum Pidana Positif Penghinaan (Tindak Pidana Menyerang Kepentingan Hukum Mengenai Martabat Kehormatan dan Martabat Nama Baik Orang Bersifat Pribadi Maupun Komunal) Edisi Revisi. Malang: Media Nusa Creative, Malang, Cetakan ke-3, 2020, hal. 38
[3] M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2016, hal. 81
[4] Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2 (Penafsiran Hukum Pidana, Dasar Peniadaan, Pemberatan & Peringanan, Kejahatan Aduan, Perbarengan dan Ajaran Kausalitas). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2021, hal. 12
Seiring berjalannya waktu, interpretasi hukum terkait pencemaran nama baik telah mengalami perkembangan signifikan. Mahkamah Konstitusi (MK) telah beberapa kali mengeluarkan putusan yang memberikan tafsir baru terhadap pasal-pasal pencemaran nama baik, terutama yang diatur dalam UU ITE.
Salah satu putusan penting adalah Putusan MK Nomor 50/PUU-VI/2008, yang menyatakan bahwa pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE harus ditafsirkan dalam konteks yang sama dengan ketentuan serupa dalam KUHP. Ini berarti bahwa unsur "di muka umum" harus terpenuhi, dan pasal tersebut merupakan delik aduan, bukan delik biasa.
Lebih lanjut, Putusan MK Nomor 78/PUU-XXI/2023 memberikan penafsiran baru terhadap Pasal 310 ayat (1) KUHP. Mahkamah menyatakan bahwa pasal tersebut inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup perbuatan "dengan cara lisan". Putusan ini bertujuan untuk menyesuaikan ketentuan KUHP dengan perkembangan dalam KUHP baru (UU No. 1 Tahun 2023) yang akan berlaku pada tahun 2026.
Perkembangan interpretasi hukum ini menunjukkan upaya untuk menyeimbangkan perlindungan terhadap kehormatan individu dengan jaminan kebebasan berekspresi yang merupakan hak fundamental dalam masyarakat demokratis.
Oleh : Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H. (Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas MA)
"Jangan korbankan ragamu (penjara) karena kesalahan 2 jempolmu"
Perkembangan media sosial semakin cepat dan menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Media sosial menggabungkan elemen informasi dan komunikasi melalui beberapa fitur untuk kebutuhan penggunanya. Sejumlah informasi melalui unggahan status, membagi tautan berita, komunikasi melalui chat, komunikasi audio/visual dan lainnya merupakan fitur-fitur unggulan yang dimiliki media sosial.
Pengguna facebook Indonesia menempati peringkat 4 terbesar setelah USA, Brazil, dan India. Ada sekitar 65 juta pengguna facebook aktif dan sebanyak 33 juta pengguna aktif per harinya namun “data April 2017 menunjukkan penambahan signifikan jumlah pengguna facebook aktif di Indonesia yakni sebanyak 111 juta pengguna (www.liputan6.com)”.
Pengguna facebook yang banyak, dimanfaatkan oleh sejumlah pihak untuk melakukan berbagai tindak pidana dalam bentuk penipuan, pemalsuan, tayangan bermuatan pornografi, termasuk perbuatan sengaja menyebabkan penghinaan/pencemaran nama baik. Pencemaran nama baik melalui facebook memiliki karakteristik khusus yang dapat diketahui melalui putusan-putusan hakim.
Pada direktori putusan Mahkamah Agung dengan kata pencarian "pencemaran nama baik facebook" setidaknya pada 3 halaman ditemukan 19 Putusan (belum semua berkekuatan hukum tetap) dengan terdakwa yang didakwa melanggar ketentuan penghinaan/pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE 2008)/Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE 2016).
Melalui sejumlah putusan tersebut diketahui terdakwa yang diputus bebas sebanyak 2 orang dan terdakwa yang dinyatakan bersalah sebanyak 17 orang. Adapun mengenai lamanya hukuman yang dijatuhkan/strafmacht yakni 3 orang dihukum pidana penjara dengan masa percobaan dan 13 orang dihukum penjara antara 2 (dua) sampai 8 (delapan) bulan.
Pencemaran Nama Baik Dalam UUITE
Kemerdekaan menyatakan pikiran dan kebebasan berpendapat serta hak memperoleh informasi melalui penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi dan komunikasi ditujukan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa serta memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan Penyelenggara Sistem Elektronik (Penjelasan Umum UUITE 2016).
Rasa aman bagi penggunan teknologi dan informasi dapat berupa perlindungan hukum dari segala gangguan tindak pidana, baik secara verbal, visual maupun yang menyebabkan terjadi kontak fisik. Namun luasnya wilayah privat pengguna jejaring sosial dengan standar pencegahan yang minim menjadi fakta bahwa tidak mudah menghalau terjadinya berbagai tindak pidana.
UUITE 2008 telah menetapkan 8 pasal ketentuan pidana namun UUITE 2016 telah melakukan perubahan Pasal 45 dan penambahan Pasal 45 A dan 45 B yang kesemuanya berfungsi menjerat pelaku tindak pidana yang berkaitan dengan kejahatan Teknologi Informasi (Cyber Crime). Adapun satu diantaranya adalah Pasal 45 ayat (3) UUITE 2016 :
"Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)".
Perubahan elemen dasar ketentuan Pasal 45 ayat (1) UUITE 2008 menjadi Pasal 45 ayat (3) UUITE 2016 terkait penghinaan/pencemaran nama baik adalah lamanya pemidanaan yang berkurang dari pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun menjadi 4 (empat) tahun sedangkan denda dari semula 1 miliar menjadi 750 juta. Adapun dampak berkurangnya ancaman pidana tersebut maka tersangka/terdakwa tidak dapat ditahan oleh penyidik, penuntut umum maupun hakim.
Selain itu, tedapat perubahan penjelasan ketentuan Pasal 27 UUITE 2008 yang sebelumnya tertulis “jelas” kemudian di dalam penjelasan Pasal 27 UUITE 2016 menjadi “Ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”. Hal ini semakin memperjelas 1).makna pencemaran nama baik dan/atau fitnah sebagaimana diatur dalam KUHP serta 2). merubah sifat delik.
Penghinaan dalam KUHP diatur pada Bab XVI yang di dalamnya terdapat rumpun pencemaran nama baik. Secara umum penghinaan merupakan keadaan seseorang yang dituduh atas sesuatu hal yang benar faktanya namun bersifat memalukan karena diketahui oleh umum sebagaimana dimaksud Pasal 310 ayat (1) KUHP dan kebalikannya apabila yang dituduhkan itu tidak benar maka dia dianggap melakukan fitnah/pencemaran nama baik sebagaimana maksud Pasal 311 ayat (1) KUHP. Namun jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, masuk Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan” (R.Soesilo).
Dalam UUITE 2008 penghinaan/pencemaran nama baik merupakan delik biasa sehingga dapat diproses secara hukum sekalipun tidak adanya pengaduan dari korban namun dengan mengacu pada KUHP sebagaimana maksud UUITE 2016 maka delik tersebut berubah menjadi delik aduan (klacht delic) yang mengharuskan korban membuat pengaduan kepada pihak yang berwajib. Muatan norma penjelasan Pasal 27 UUITE 2016 secara tidak langsung mengadopsi pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 Jo Putusan MK Nomor 2/PUU-VII/2009.
Dalam pertimbangan Putusan MK 50/PUU-VI/2008 disebutkan bahwa keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan.
Kalimat Kutipan Bukan Merupakan Penghinaan /Pencemaran Nama Baik
Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 955 K/Pid.Sus/2015 menolak permohonan kasasi penuntut umum sehingga berlaku putusan pengadilan tingkat pertama yang membebaskan terdakwa dari semua dakwaan. Adapun terdakwa dalam perkara ini merupakan anggota DPRD yang mengunggah status di facebooknya bahwa terjadi penyimpangan dana… di kota.... sesuai laporan hasil pemeriksaan BPK. Kedudukan terdakwa menunjukkan pengguna facebook tidak terbatas profesi tertentu karena facebook maupun media sosial terbuka terhadap semua kalangan.
Pertimbangan hukum majelis kasasi bahwa kata-kata yang diucapkan terdakwa tersebut bukan merupakan kata-kata karangan terdakwa sendiri, melainkan kutipan dari statement Resume Lembaga Negara (BPK) sesuai hasil laporan hasil pemeriksaan BPK, kata-kata tersebut tidak ditujukan kepada pihak tertentu, serta tidak dengan makna menyiarkan kabar bohong/fitnah. Pertimbangkan putusan ini mengukuhkan kebebasan pengguna media sosial sepanjang ditulis berdasarkan sumber yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum namun tidak ditujukan terhadap pihak tertentu. Kasus ini bisa berbeda sudut pandangnya apabila terdakwa menyebutkan nama/pejabat tertentu yang belum diproses hukum oleh penyidik.
Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Bukan Kritik Sosial
Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 364 K/Pid.Sus/2015 menolak permohonan kasasi terdakwa. Adapun terdakwa dinyatakan bersalah melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui informasi teknologi oleh majelis hakim tingkat pertama. Melalui akun facebooknya, terdakwa mengunggah status difacebook dan membagikan informasi tersebut digrup facebook sehingga penyebaran informasi semakin cepat dan meluas.
Dalam pertimbangan hukum, majelis kasasi menyatakan perbuatan terdakwa yang membuat tulisan di situs jejaring sosial facebook tidak dapat lagi dinilai sebagai bentuk kontrol sosial atau kritik membangun terhadap lingkungan maupun aparat penyelenggara pemerintahan. Sebab tulisan terdakwa sudah mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap saksi pelapor. Pertimbangan ini, memastikan batasan-batasan kebebasan seorang pengguna media sosial terhadap hak-hak objek yang menjadi isi muatannya sehingga perlu dipilah muatannya maupun niat jahat/mens rea.
Adapula putusan pengadilan yang membenarkan kritik sosial untuk kepentingan umum dengan kriteria sebagai berikut : 1).kapasitas terdakwa berkaitan dengan objek yang disebutkan dalam unggahannya, 2). terdakwa dan korban tidak saling mengenal sehingga tidak terdapat konflik pribadi, dan 3). perbuatan terdakwa dilakukan semata-mata adalah sebagai bentuk protes. Selanjutnya dengan kriteria tersebut maka terdakwa dibebaskan dari dakwaan UUITE, namun hal tersebut belum dapat dipedomani karena putusan dimaksud belum berkekuatan hukum tetap.
Penyebutan Nama Yang Tidak Sempurna
Putusan Nomor 2172 K/Pid.Sus/2015 menolak permohonan kasasi penuntut umum dan kasasi terdakwa dengan pertimbangan bahwa meskipun terdakwa tidak menyebutkan nama lengkap objek yang dicemarkan nama baik namun dapat dipastikan kata-kata itu ditujukan kepada saksi korban. Dalam kasus ini terpidana berupaya berkelit terhadap dakwaan penuntut umum karena tidak menyebutkan nama korban secara lengkap namun bukti-bukti lainnya mampu menunjukkan hubungan antara maksud kata-kata tersebut dengan keadaan/kedudukan korban.
Melalui putusan ini maka pengguna facebook mesti menyadari sepenuhnya bahwa penegak hukum dapat melakukan analisis terhadap konten kalimat di dalam unggahan facebook. Konten kalimat dapat juga dimintai pendapat ahli bahasa dan ahli pidana untuk menemukan maksud yang tersembunyi.
Penghinaan/Pencemaran Nama Baik Merupakan Kerugian Immaterial
Peristiwa pidana dalam Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 2290 K/PID.SUS/2015 terjadi pada saat terpidana mengunggah status yang bermuatan penghinaan di facebook melalui handphone secara berlanjut pada waktu yang tidak terlalu lama dari unggahan pertama. Hal ini menunjukkan bahwa facebook menjadi media yang mudah untuk dimanfaatkan oleh penggunannya karena hanya dengan kedua jempol pada saat mengetiknya.
Majelis hakim menolak alasan kasasi terdakwa terkait lamanya pemidanaan yang diterima terdakwa dari putusan judex facti. Adapun salah satu pertimbangan majelis hakim adalah kerugian yang bersifat immaterial yang diderita korban tidak dapat dinilai dengan uang, karena kedudukan korban yang saat itu adalah sebagai Bupati Pasaman Barat. Salah satu akibat yang dirasakan korban adalah hilangnya kepercayaan orang/masyarakat yang membaca tulisan pada akun Facebook Terdakwa.
Membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintahan menjadi tanggungjawab berat kepala daerah dan umumnya membutuhkan waktu namun kepercayaan tersebut dapat hilang dengan cepat karena penghinaan/pencemaran nama baik melalui facebook. Sifat hukum immaterial ini sejalan dengan kaidah perbuatan melawan hukum dalam perdata yang mengatur bahwa cakupan kerugian immaterial hanya dapat diberikan dalam hal-hal tertentu saja seperti perkara Kematian, luka berat dan penghinaan (Putusan perkara Peninjauan Kembali No. 650/PK/Pdt/1994).
Penghinaan/Pencemaran nama baik melalui facebook mestinya tidak terjadi kalau pengguna bijak dalam mengunggah status sehingga memberikan rasa aman bagi semua pihak. Aspek hukum penghinaan/pencemaran nama baik melalui facebook memiliki karakter yang mudah dilakukan, mudah tersebar dan diketahui publik, dapat dilakukan oleh semua pengguna, dampak langsungnya terbentuk opini publik dan lain sebagainya. Selain itu, melalui sejumlah putusan diketahui bahwa kalimat kutipan bukan merupakan penghinaan/pencemaran Nama Baik, penghinaan/pencemaran nama baik bukan Kritik Sosial, penyebutan nama yang tidak sempurna dengan melihat mensrea, penghinaan/pencemaran nama baik merupakan kerugian immaterial.
Isu pencemaran nama baik sering dibicarakan di era digital ini. Perkembangan teknologi dan maraknya penggunaan media sosial memudahkan ditemukannya permasalahan terkait pencemaran. Mungkin Sobat KH pernah mendengar atau bahkan mengalami situasi di mana seseorang merusak nama baik orang lain dengan informasi atau pernyataan yang tidak benar. Tindakan seperti ini bisa berdampak buruk pada reputasi, karier, hingga kehidupan sosial seseorang.
Dalam artikel ini, sobat KH akan mempelajari lebih dalam tentang apa itu pencemaran nama baik, beberapa contoh kasus yang sering terjadi, serta solusi hukum yang bisa sobat KH tempuh jika menghadapi masalah serupa. Artikel ini juga akan memberikan gambaran mengenai bagaimana hukum di Indonesia melindungi warga negara dari tindakan tersebut, baik secara online maupun offline.
Konten dan Konteks Pencemaran Nama Baik
Dalam menentukan jerat pasal pencemaran nama baik di media sosial, konten dan konteks menjadi bagian yang sangat penting untuk dipahami. Tercemarnya atau rusaknya nama baik seseorang secara hakiki hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan.
Dengan kata lain, korbanlah yang dapat menilai secara subjektif tentang konten atau bagian mana dari informasi atau dokumen elektronik yang ia rasa telah menyerang kehormatan atau nama baiknya.
Konstitusi telah memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat seseorang sebagai salah satu hak asasi manusia. Oleh karena itu, perlindungan hukum diberikan kepada korban, dan bukan kepada orang lain. Sebab, orang lain tidak dapat menilai sama seperti penilaian korban.
Sedangkan, konteks berperan untuk memberikan nilai objektif terhadap konten. Pemahaman akan konteks mencakup gambaran mengenai suasana hati korban dan pelaku, maksud dan tujuan pelaku dalam mendiseminasi informasi, serta kepentingan-kepentingan yang ada di dalam pendiseminasian (penyebarluasan, ed.) konten. Oleh karena itu, untuk memahami konteks, mungkin diperlukan pendapat ahli, seperti ahli bahasa, ahli psikologi, dan ahli komunikasi.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023.
[1] Saepul Rochman. Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial: Perbandingan Hukum Pidana Positif Dan Islam, Diktum: Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 19, No. 1, 2021, hal. 35
[2] Oemar Seno Adji. Perkembangan Delik Pers di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 1990, hal. 36
[3] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)
[4]Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023 (hal. 358) dan Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP
[5] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023
[6] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023
[7] Anna Rahmania Ramadhan. Pencemaran Nama Baik Dalam Perspektif Undang-Undang No. 11 Tahun 2009 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Jurnal IUS: Kajian Hukum dan Keadilan, Vol. III No. 9, Desember 2015, hal. 602
[8] Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 1/2024”)
[9] Penjelasan Pasal 27A UU 1/2024
[10] Pasal 45 ayat (5) UU 1/2024
%PDF-1.7 %µµµµ 1 0 obj <>/Metadata 181 0 R/ViewerPreferences 182 0 R>> endobj 2 0 obj <> endobj 3 0 obj <>/ExtGState<>/XObject<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageB/ImageC/ImageI] >>/MediaBox[ 0 0 595.2 841.8] /Contents 4 0 R/Group<>/Tabs/S/StructParents 0>> endobj 4 0 obj <> stream xœÅ\[sÛ6~÷ŒÿÅNL ’ÝN§Nì4N6i.öîCÚØ’eF¥µÉvúï÷\@êBÒQ$(m…Äí|8W ìéÙC™ß™ÛÒûé§Ó³²4·÷£¡÷ùôj¾øãôêïÅèô½ç…)óyqú©º)±èÕÈG?ÿì=?áýïø(‰é%qä©4õ"í=ŒŽ�þûƒW=¿:>:})<¡Œ½«»ã#á…ð¯ð’4H¡(ÉÂ@{W3h÷ë§Ä?…A’(/TŒ¿¡Ö‰÷0¦ú´¯þã¯ÇGŸ¯«?fêùxW¯��.€ü‡ã£]Ya¬±ØÃY/C��‘}<ÿ$¡¬ÌKÿD rãˆÏ8Ù�Ïý“¸æÏBè‹„K.‘÷é¬B†á*…Ât~_U_dƒj戟( ’=ØqK⻳ѩ”ðw–ìÄÄ{””¡ùÍ„HˆÁ'Ÿ²B9æ\ôÊé€ÄjB¿¶åK?.™’–Ô¥ðõ·±7ôÈ×EŽúèZD´a¤p�¯v‡†Ïaä¼À!Lón l3Æ6»)ã|*–A"÷�Ïáê$ˆÓ�˜ø 3ŸØ³@•ön>›?š{3) )½“ÒÉžL¸@B‡Á~ËõÚ—!+Ò4wÀO¢™üÓ §{‰G(…>²4Ð{ñáP¡ãxW«rþÆËÚ^6Í NªƒH@óýˆe+ÀÇH«PŸºXZI�î:ï^2ïêöóàá‹v ÆÛƒ�ÏŒz‘;‘¸Œb£Ýùé6Œ$@ ÇN3€l2$7’¡"UŒu ,C’÷zÄ;ÒêŠ%†‘©ì ¶uCæJy"]ã*†2ÁÎQÃU Òñ�üÆÀ2£´YÚ§–è¿Ó&zþö…ÇÔpZä+ COŠÆAJ<Þý°R¥ nÃJüÓT2ô\i‘_�´TÚŒ‹ZU]ãZð¸°CVëc) ¢‹Ýº¦“[žJ�(PÆš(´]�ÕQŠ°÷u冀RȵýXôS¯t�_Ë×öbÒ?¼ïýÉJïâ-% ‡øOšj�6/Îbh“F¢¿*Б'云·Ø)Ýèý“j¶ ©–³Óž$ÿù¼,ç³þ<ÿå|^6yþºfÔBŸ¢,4¢ñŠôá$!ÏU·1Z’ÕVhœ$Ök£©\Ç*[7‘JŒÓànœò–p®ƒ ÁV«%$‘-TCR× ‚0ÙD ‡i@ˆPŸ· ! Ê?B-û°Ž:ƒ¦¼ŽBtÌ¡å[2Å&�…i§ÈfžS rV§�%%ƒ›N9§üÑꩨæž/5eG.ù¥ÃŸï0K)EԻϲåoÃG¶ÁFJ‘Åîlì,1��[žQÈ;ynIy‘Å—$';‹¸£‚¡"„y-æwd‰og–œ+ÞNGÈàX|ÿ¹ìÇxª‰c•�Yý®Œ?éQ¿iÛ
%PDF-1.7 %µµµµ 1 0 obj <>/Metadata 244 0 R/ViewerPreferences 245 0 R>> endobj 2 0 obj <> endobj 3 0 obj <>/ExtGState<>/Font<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageB/ImageC/ImageI] >>/Annots[ 19 0 R 20 0 R 25 0 R] /MediaBox[ 0 0 595.56 842.04] /Contents 4 0 R/Group<>/Tabs/S/StructParents 0>> endobj 4 0 obj <> stream xœÍ][“ÓH–~'‚ÿ §]{„ò¢ÛDGÇT7tSMòÌ>ó *[øVk[M°¿~Ïw2嫲0å”zf‚j[–t.yîy2óÙÕjS}*n7Á?<»ÚlŠÛI9 þùìýòî_ÏÞ½+Ÿ½-ÆÕ¢ØTËųwõÍ—^–Ũ\ýøcðÓóŸƒg¿¾K‚ñúñ£ÿ}ü(Nƒ4aœBÈ0´e¬ÊÇ�þç/Áâñ#s5¢ÿ›_v÷ßÎ?zv=/Æe<_ÿͯ‹Âÿ˲ÅyÆI�iFzï¥?½§G��ÁûOƒß/Ñ‹ƒ”’:xO¯§Ë¡V9ýMc¬ÆôÔ¯ïrFýð§¿ÿúøÑ?¿Õ«E1>UƒàU9Tƒ/Åði2X�\Zõ 4WC!ôI›?‹á¿‚÷¿=~ô‚°ò@E¬²0—÷“ц}ð@4|0^Ò}„r&Â(û”ÿA<]Ãå ú¼Y†ôºßˆ÷5®.†OãA…dDåðiJ:áö÷¢þ'r[©(L F)n?å·~9§Tæù÷£ñÔ3¸ïܸ~GR†oþˆ<…"g~1ƒ9úOg�ŽÈ�ÈïG#¤r™†ö½ðŒ‘VÿŒÑéƒs=|šö¤G¦Ò£<¦( ÿ|Å‚@dß‹Fð”€ÂyÝþs •ô¬W�Éþ^Öôg²¥åXAâʌ奈/^S<æˆè~Zn6˹;¨ûe¹Ülƒº‹G% “DI ùo9(.Œcù}žÿÅê„$ˆ RòÁ+ ›@…B7zELÞ仑}({�Hè ñ¾± !‹¾�«z\#|_o0Zfì^ˆ3çËÅP¨&š×ƒñö“¹ëm3²ë�®ªa<¸©}‡S qL¿¬N±H€Å‘Œä�]„u²¼+?å”þ˜ä†Eg‚OFœÞW‹a:�«€]Ïæ5n²BYOë9}TbpýÓïWt×ë?ÝJ’ëÅÙÞ‡ÈïÅâ Y™c’õƘo9ûóË7(È|XE¤„g?-ËDð9xÇ¡Š)ZÉB¢,V9™}þ®‚ÙãGï|�ȧPþ¦Â$� 0CÐÉÝÑ…=hÁ³wwÅ ^ÿ|ý<ˆžý^,ÆÁ Âh»½AMcb…Ý”ÛÊä$PûíüÇßI!¯Þ/?…¼úð: oðöÔ÷wx‘«W‚·Ãdð‚.¿ÁÕŸ_з×W§¿WoèOðáÁÕë+Üütu}(m´ Kk¹xúá�GrU–…$Ÿä¬<)kÏ«àßFRv1 :ÊÃ{$á~×WßFOuÄC-U˜;E&ø6bº¾Éä¬^3’OrHÏI–�™çz “r&O¼ÀS÷À{÷_pÈ×W¿{‡‹œÓã�}ìaìÝ’ÌS®J Ž<
Pencemaran nama baik menjadi isu populer sejak kehadiran UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pasal 27 ayat (3) UU ITE menjadi kontroversial sejak kasus antara Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional Alam Sutera Tangerang pada 2009. Prita bahkan sampai ditahan di Lapas Wanita Tangerang. Ia disangka mencemarkan nama baik pihak RS Omni Internasional berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Kasus tersebut cukup panjang dan menjadi sejarah penting dalam wacana hukum Indonesia. Pasal 27 ayat (3) UU ITE menjadi dalil lain soal pencemaran nama baik selain Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sejak revisi UU ITE pada 2016 bahkan hubungan keduanya lebih jelas. Ada tambahan di bagian penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang menyebutkan ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP.
Meski unsur pencemaran nama baik kedua pasal pidana itu jelas disamakan, tetap ada dua perbedaan penting. Pertama, sarana yang digunakan untuk melakukan pencemaran nama baik. Kedua, ancaman hukuman yang dijatuhkan. Ancaman hukuman dalam UU ITE baru berlaku jika pencemaran nama baik dilakukan lewat informasi atau dokumen elektronik.
Ada dua perbedaan unsur pencemaran nama baik dalam Pasal 310 KUHP dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE
Pencemaran nama baik juga diatur bidang hukum perdata. Acuannya adalah perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Ditambah lagi dengan ketentuan ganti rugi akibat pencemaran nama baik dalam Pasal 1372-1380 KUH Perdata. Tunggu dulu, ini belum sepenuhnya menjawab pertanyaan apakah pencemaran nama baik perusahaan dikenal dalam hukum?
Pasal Pencemaran Nama Baik
Contoh Kasus Pencemaran Nama Baik
Di era digital ini, fitnah semakin sering terjadi, terutama di media sosial. Sobat KH mungkin pernah melihat seseorang dihujani komentar negatif atau rumor palsu yang disebarkan secara luas. Berikut ini beberapa contoh kasus yang kerap terjadi:
Pengguna media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan platform sejenis lainnya sering menggunakan media tersebut untuk menyebarkan informasi. Sayangnya, tidak semua informasi yang mereka bagikan bersifat positif atau benar. Misalnya, seseorang mungkin memposting tuduhan tidak berdasar tentang perilaku negatif seseorang, dan informasi ini kemudian menyebar luas hingga merusak reputasi orang tersebut.
Tidak jarang terjadi fitnah di lingkungan kerja, di mana rekan kerja atau atasan menyebarkan informasi yang salah tentang seseorang untuk merusak karier atau hubungan profesionalnya. Contoh umum adalah menyebarkan rumor tentang ketidakjujuran atau kelalaian seseorang, padahal tuduhan tersebut tidak pernah terbukti.
Selain media sosial, forum-forum online dan blog juga sering menjadi tempat penyebaran informasi yang mencemarkan nama baik. Beberapa orang menggunakan platform ini untuk menuliskan ulasan negatif atau komentar yang merendahkan seseorang tanpa bukti yang jelas, yang dapat berujung pada pencemaran nama baik.
Pengertian Pencemaran Nama Baik
Sebelum masuk ke dalam pembahasan lebih lanjut, penting bagi sobat KH untuk memahami apa yang dimaksud dengan pencemaran nama baik.
Pencemaran nama baik adalah tindakan menyebarkan informasi, pernyataan, atau tuduhan yang tidak benar tentang seseorang, baik secara tertulis maupun lisan, yang dapat merusak reputasi orang tersebut di mata publik. Orang biasanya melakukan tindakan ini dengan niat untuk mencemarkan, mempermalukan, atau merendahkan martabat seseorang. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 310 dan Pasal 311, serta Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur pencemaran nama baik dalam konteks hukum, terutama untuk kasus yang dilakukan secara online.
Bentuk pencemaran nama baik dapat berupa fitnah atau penghinaan. Orang menyampaikan fitnah sebagai tuduhan palsu kepada orang lain atau menyebarluaskannya di publik, sementara seseorang menghina dengan pernyataan yang merendahkan martabat orang lain tanpa dasar yang kuat.
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Adakah Hukum Pencemaran Nama Baik pada Badan Hukum? yang dibuat oleh Ardi Ferdian, S.H., M.Kn, dan pertama kali dipublikasikan pada 17 Oktober 2022.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pasal Pencemaran Nama Baik
Setiap bentuk penghinaan selalu bersifat mencemarkan nama baik dan kehormatan orang.[1] Penghinaan pada dasarnya diatur dalam Pasal 310 KUHP. Namun jika dilakukan di media sosial yaitu dengan cara mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik maka diatur secara khusus dalam Pasal 27A UU 1/2024 yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap Orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.
Dalam Penjelasan Pasal 27A UU 1/2024 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan “menyerang kehormatan atau nama baik” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri orang lain sehingga merugikan orang tersebut, termasuk menista dan/atau memfitnah.
Namun, patut diperhatikan bahwa Pasal 27A UU 1/2024 tersebut tidak mengatur norma hukum pidana baru, melainkan hanya mempertegas berlakunya norma hukum pidana penghinaan dalam KUHP, sehingga norma dasar penghinaan dalam UU 1/2024 mengikuti norma dalam KUHP.
Informasi yang juga penting Anda ketahui adalah setelah adanya Putusan MK No. 78/PUU-XX1/2023 yang memuat uji materiel terhadap Pasal 310 ayat (1) KUHP, Mahkamah Konstitusi (“MK”) berkesimpulan bahwa Pasal 310 ayat (1) KUHP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (hal. 358):
Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan cara lisan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
MK tanpa bermaksud menilai konstitusionalitas Pasal 433 UU 1/2023 yaitu KUHP yang baru mempunyai kekuatan mengikat setelah 3 tahun sejak diundangkan (2 Januari 2026), maka penegasan berkenaan dengan unsur “perbuatan dengan lisan” yang terdapat dalam Pasal 433 UU 1/2023 bisa diadopsi atau diakomodir guna kepastian hukum dalam penerapan ketentuan norma Pasal 310 ayat (1) KUHP (hal. 356).
Baca juga: Bunyi Pasal Pencemaran Nama Baik KUHP Pasca Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023
Dalam norma penghinaan dirumuskan tentang siapa subjek hukum (addressaat norm) atau sasaran yang sebenarnya dituju oleh suatu norma hukum tentang suatu tindak pidana. Addressaat norm Pasal 310 KUHP dapat diketahui dari bunyi pasal “barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang”. Barang siapa (hij die) dalam KUHP merujuk kepada orang perseorangan[2] dan yang diserang pun nama baik orang, sehingga baik Pasal 310 KUHP maupun Pasal 27A UU 1/2024 hanya bisa ditujukan kepada orang atau manusia sebagai subjek hukum (natuurlijk persoon) dan tidak ditujukan kepada badan hukum (rechts persoon).
Solusi Hukum untuk Pencemaran Nama Baik
Apabila sobat KH atau seseorang yang sobat KH kenal menjadi korban pencemaran nama baik, ada beberapa langkah yang bisa diambil untuk mendapatkan keadilan.
Sobat KH bisa mengambil langkah pertama dengan mencoba menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan atau melalui mediasi.Dalam beberapa kasus, pelaku pencemaran nama baik mungkin tidak sepenuhnya menyadari dampak dari tindakannya, sehingga penyelesaian secara damai bisa menjadi opsi terbaik.
Jika mediasi tidak membuahkan hasil atau pelaku tidak menunjukkan itikad baik, sobat KH dapat melaporkan kasus tersebut ke pihak berwajib. Sobat KH bisa mengajukan laporan pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 310 dan 311 KUHP, atau jika pencemaran tersebut terjadi di dunia maya, sobat KH dapat melaporkan pelanggaran berdasarkan UU ITE.
Selain menempuh jalur pidana, Sobat KH dapat menuntut ganti rugi secara perdata atas kerugian yang diakibatkan oleh pencemaran nama baik. Hal ini bisa mencakup kerugian materiil maupun immateriil, seperti rusaknya reputasi atau kerugian emosional.
Menghadapi kasus pencemaran nama baik bisa menjadi proses yang rumit. Oleh karena itu, menggunakan jasa pengacara yang berpengalaman dapat membantu sobat KH dalam menghadapi kasus ini secara lebih baik. Dengan bantuan pengacara, sobat KH akan mendapatkan saran hukum yang komprehensif, dukungan dalam mengumpulkan bukti, dan perwakilan yang kuat di pengadilan.